Buat apa memeluk seseorang bila harus melepaskannya…


Kadang sebuah pelukan itu hanya memiliki arti tak lebih dari sekedar penghiburan dari, “Semuanya akan baik-baik saja, walau sebenarnya tidak”.

          Dalam sebuah diskusi yang panjang, akhirnya sebuah keputusan kami ambil. Kami harus menghentikan semua yang pernah kami jalani bersama. Jangan pertanyakan tentang cinta, karena kami berdua sama-sama tau bahwa cinta yang kami miliki sangat besar dan kuat. Tapi cinta itulah yang akhirnya memisahkan kami.
“Kamu yakin bisa melewati semua ini?” Tanyaku memecah kesunyian diantara kami.
“Masih perlukah ada pertanyaan itu? Kita berdua tau bahwa ini bukan soal yakin bisa atau tidak”.
Aku mendesah. Entah mengapa, walau keputusan itu sudah terjadi, tapi aku masih berharap hasil yang lain.
“Apa lagi yang bisa kita bahas? Tidak ada lagi karena semua sudah berakhir”. Katanya pelan.
“Iya memang, tapi apakah….”
“Sudah cukup! Jangan ada lagi harapan apapun” Dia memotong kalimatku tanpa ampun sambil mengibaskan tangannya. Akupun hanya mendesah, sekelebat rasa sakit dan marah bercampur menyesak dadaku.
“Itulah egoisnya kamu” kataku datar. Tak kusangka kalimat ini kembali menyulut pertengkaran.
“Aku? Egois? Bukankah kamu yang menghendaki ini? Kenapa aku jadi yang egois?” Balasnya setengah menahan emosi. Aku sebentar terdiam. Mencoba memilih kalimat yang tepat agar nada tinggi diantara kami meluruh.
“Bukan aku. Tapi keinginanmulah yang membuatku harus memutuskan ini”. Aku melihat bola bening mulai meluncur keluar dari bola matanya. Bola mata bening dan indah yang sangat aku sukai. Dan aku sudah membuatnya basah oleh air mata. Aku menggenggam jemarinya yang sedari tadi sibuk meremas tissue. Aku berkata pelan, “Sayang, bila kamu tegar dengan keputusan ini, seharusnya kamu tidak menangis”.
“Adakah orang paling ego diantara kita sehingga harus memutuskan perpisahan hanya karena saling mencintai?” Aku terhenyak dengan kalimat yang dia luncurkan.
“Kamu tahu betul yang aku inginkan. Keinginanku sangat sederhana, melupakan kesalahanku dan kita bisa memulai semuanya dari awal. Itu saja”. Perlahan aku mengusap air matanya dan menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya.
“Sederhana?! Sederhana menurutmu, tapi melupakan kesalahanmu itu hal besar menurutku. Dan kamu juga tahu betul bahwa aku tidak bisa!” Nada suaranya kembali meninggi. Aku memperbaiki posisi dudukku, mulai gelisah. Memandangnya perih. Kembali aku merutuk diriku sendiri atas kesalahan yang pernah aku buat. Menurutku, itu hanya kesalahan kecil. Menurutku.
Kejadian itupun sudah lama, aku pikir tidak akan ada masalah. Aku sangat mencintainya, dia tau itu. Aku hanya sedikit memberi perhatian pada seseorang. Ya….mmm wanita. Aku menganggapnya hanya teman dekat. Seorang teman yang membuatku nyaman setiap bersamanya. Memang sih, hal itu membuat aku lebih asik pergi bersamanya. Tapi bukan berarti aku mencintainya. Cintaku hanya untuk kekasihku. Hal yang tidak kusadari adalah, bahwa kedekatanku itu berujung pada rasa jatuh cinta teman wanitaku ini kepadaku. Aku baru tau setelah mulai ada yang janggal, kecemburuan-kecemburuan kecilnya ketika aku tidak bisa pergi bersamanya karena aku harus menemani kekasihku. Awalnya aku anggap semua itu hanya bercanda. Aku biasa saja menanggapinya bahkan kadang aku ceritakan hal yang aku anggap konyol ini kepada kekasihku. Dia juga biasa saja menanggapinya. Tapi aku ingat, dia pernah berkata,”Hati-hatilah…kasian kalau dia jatuh cinta beneran sama kamu”.
Saat itu, aku hanya tertawa mendengar perkataan kekasihku itu. Dan aku jawab,”Ya gak mungkinlah, kan aku sudah punya kamu. Cintaku kan cuma buat kamu”. Disambut renyah tertawanya sambil meninju pelan perutku,”Aih bisa gombal juga kami. Eh tapi ini serius loh. Hati-hati. Kalau kamu ga mencintai dia, ya jangan bikin dia jatuh cintalah”.
Buatku, kata-katanya ini gak masuk akal. Kenapa dia jadi seserius ini menanggapinya.
Tapi tidak lama kemudian, aku mulai menyadari bahwa yang dia katakan ada benarnya. Teman dekatku ini mulai semakin nyata menampakkan perhatiannya. Bahkan sepertinya berlebihan. Lebih dari perhatian kekasihku sendiri. Waktu itu, aku tidak ambil pusing dengan peringatan kekasihku. Toh aku tidak selingkuh. Aku hanya menikmati perhatian dari teman dekatku ini.
Apanya yang salah? Menurutku waktu itu.
Semuanya mengalir, sampai aku mulai gelisah sendiri. Karena semuanya jadi serba ribet. Aku jadi selalu mematikan telpon genggamku setiap kali aku jalan dengan kekasihku. Hanya karena tidak mau ribut dengan kekasihku. Iya. Ribut. Karena seringkali temanku ini tiba2 telpon dan bicara hal-hal tidak penting ketika aku sedang bersama kekasihku. Atau chat yang tidak pernah berhenti sehingga membuatku sibuk membalas chatnya padahal aku sedang quality time dengan kekasihku. Akhirnya, kekasihku mulai terganggu. Dan akupun.
Tapi entahlah, mengapa aku tidak bisa tegas menjauhi teman dekatku ini. Dia baik sekali. Rasanya aku tidak tega. Aku tidak memutuskan untuk menghindar, tapi malah seringnya jadi sembunyi-sembunyi dari kekasihku,tidak lagi bisa santai dan cuek seperti biasanya. Itu bukan karena aku merasa berbuat salah, cuma males ribut. Ya karena menurutku memang aku tidak salah.
Yang terjadi adalah teman dekatku ini lagi pengen curhat atas masalah-masalahnya, dan dia merasa nyaman curhat sama aku. Jadi apa salahnya kalau aku menjadi teman curhatnya? Lalu, dia sering tidak punya teman jalan, dan aku sering juga pengen keluar jalan tapi lagi ga ada temen, pas kekasihku juga sedang sibuk. Ya sudah, apa salahnya kalau kami sekedar nongkrong dan ngobrol gitu. Dimana salahnya coba? Mengingat itu semua, bikin aku emosi dengan keputusan ini. Kekasihku tidak bisa menerima apa yang aku lakukan. Sementara menurutku, aku tidak melakukan kesalahan.
Kenapa wanita sensitif dan rumit banget sih. Aku menggeram. Gemas, jengkel, sedih…entah apalagi rasanya. Begitu keras kepalanya wanita yang aku cintai ini.
Aku menatapnya dengan segenap kepedihan dan penyesalan. Ini adalah pertemuan terakhir kami. Dan untuk yang terakhir kali aku memohon,”Haruskah kita menyudahi semuanya? Bukankah kau mencintaiku?”
“Aku sangat mencintaimu. Tapi sepertinya memang tidak ada yang bisa dipertahankan. Bagaimana aku bisa memaafkanmu? Bahkan kamu tidak merasa semua yang kamu lakukan itu adalah sebuah kesalahan”.
“Okee…oke….aku bersalah. Maafkan aku”.
“Terlambat. Buat apa kamu minta maaf kalau itu hanya karena aku yang memintanya. Berarti sebenarnya, kamu tetap tidak merasa itu salah kan? Kamu tidak pernah mengerti dimana letak kesalahanmu”.
Aku lagi-lagi hanya mendesah panjang. Harus beginikah endingnya? Dalam hati kecilku, ada pergolakan antara sangat menyesal juga sangat marah, kecewa dan sangat sedih. Aku tidak pernah menyangka kalau hal yang menurutku sederhana itu, akhirnya membuat aku harus kehilangan orang yang aku cintai dengan cara seperti ini. Aku sangat menyesal.
“Bukankah sudah aku jelaskan panjang lebar kenyataannya bagaimana? Aku harus menjelaskan seperti apa lagi?”. Aku mulai putus asa.
“Tidak ada. Dan tidak perlu lagi. Semuanya sudah cukup jelas. Bukankah tadi kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita? Jadi untuk apa lagi kita berdebat. Aku mau pulang”.
Dia berdiri dari tempat duduknya. Membereskan tasnya dan beranjak pergi.
“Sudah? Begini saja selesainya?” Aku meraih tangannya ketika dia berjalan melewatiku. Dia berhenti dan hanya memandangku lekat. Aku melihat lagi butiran airmata yang siap jatuh.
“Aku sangat mencintaimu”. Hanya itu yang mampu aku ucapkan dengan nada bergetar. Menahan semua gejolak dalam dadaku. Sekian detik aku menunggu reaksinya. Dadaku berdebar sangat kencang. Kugenggam erat jemarinya, seperti tak ingin ku lepas. Pelan dia melepaskan genggamanku, lalu memelukku erat. Sangat erat.
“Selamat tinggal. Jaga dirimu baik-baik”. Ucapnya perlahan disela isak tangisnya. Dan dia berlalu meninggalkan aku yang berdiri terpaku, tanpa sempat mengatakan sepatah katapun.
“Buat apa pelukan ini, kalau akhirnya hanya untuk kau lepaskan”. Lirih aku berucap, tapi tak pernah didengarnya.

Sebuah pelukan dalam pertemuan itu menyenangkan. Terlebih bila kita merasa sangat merindukannya. Entah itu teman, sahabat, keluarga atau siapapun, bahkan pasangan. Hal yang menyedihkan itu adalah sebuah pelukan yang menandakan perpisahan. Perpisahan karena jarak tempat. Atau perpisahan untuk hati yang harus berjarak.
Karena pelukan tidak selamanya berarti kebahagiaan. Kadang pelukan itu tak lebih dari sekedar penghiburan dari, “Semuanya akan baik-baik saja, walau sebenarnya tidak”.

Oktober 2015

~Jeci Gracietta~

8 responses to “Buat apa memeluk seseorang bila harus melepaskannya…”

  1. djoko moernantyo Avatar
    djoko moernantyo

    aiiiiiiih….emak jeci….yaaaaaa……..

    Like

    1. duuuh gimanadong…
      aku bisanya nulis yang beginian, kalau aku pinter nulis dg tema seperti kamu, bahaya efeknya. Mesti isine mung misuh karo ngamuk hahahahha

      Liked by 1 person

      1. djoko moernantyo Avatar
        djoko moernantyo

        hahahaha….mbok sesekali ngamuk po misuh, tenan lo, luih plooong…..kakakakak..#kompor

        Like

  2. djoko moernantyo Avatar
    djoko moernantyo

    jedukke tembok, sopo ngerti iso nulis sing misuh…hahahhaha…..#melokTerharu

    Liked by 1 person

    1. walah brooo….wong ra dijedukke tembok wae gampang misuh, po meneh kejebles-jebles kahanan….
      huahahhahahahha
      Ini lagi belajar nulis fiksi hahahhaha

      Like

      1. djoko moernantyo Avatar
        djoko moernantyo

        ayo nulis 🙂 aku lagi juga persiapan novel pertama…cuman risetnya ampun2an ki 🙂 wektune bentrok karo gawean terus…..

        Liked by 1 person

      2. masbro….minta nomer wa mu dong, need help nih…

        Liked by 1 person

      3. Tulisanku ki akeh-akeh e nyangkut neng draft kabeh hahahha ra tau tuntas….
        biasa kepentok blahbloh…njuk hang…

        Like

Leave a comment